Sejak The Institute of Medicine (IOM) mempublikasikan “To Err is Human” pada tahun 1999, fokus terhadap upaya meningkatkan patient safety di pelayanan kesehatan terus menjadi perhatian. Dalam laporan tersebut didapatkan bahwa sebanyak 48.000 sampai dengan 98.000 kematian per-tahun terjadi akibat medical error dan sebenarnya dapat dicegah (Kohn et al., 2000). Hal tersebut turut melatar belakangi amat diperlukannya penerapan patient safety di layanan kesehatan primer.
“To Err is Human” pada mulanya berfokus pada kesalahan-kesalahan yang bersifat sebagai commission seperti operasi pada sisi yang salah. Pada perkembangannya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada outpatient setting seperti pada rawat jalan termasuk pada layanan primer, upaya perbaikan yang paling memungkinkan dapat dilakukan adalah mencegah ommision atau kondisi di mana seharusnya pasien mendapatkan pertolongan/ perawatan namun tidak mendapatkannya (Henriksen et al., 2005). Sebagaimana dinyatakan oleh The National Committee for Quality Assurance (NCQA) pada tahun 2004 bahwa 42.000 hingga 79.000 kematian pertahun sebenarnya dapat dicegah jika mendapatkan perawatan yang konsisten dan standar yang sama (cit. Henriksen et al., 2005).
Delays in treatment adalah salah satu bentuk ommision yang sering terjadi di layanan primer. Menurut JCI (Joint Commission International, 2015), a delay in treatment adalah suatu kondisi di mana pasien tidak mendapatkan penatalaksanaan – baik itu pengobatan, pemeriksaan laboratorium, terapi fisik, atau berbagai jenis penatalaksanaan lain – yang seharusnya telah dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu.
Pada tahun 2014, Joint Commission’s Office of Quality and Safety menganalisis 73 kasus sentinel yang merupakan akibat dari delays in treatment. Dari seluruh kasus tersebut, 48 orang meninggal dunia. Pada tahun 2010-2014 didapatkan 522 kejadian sentinel terkait delays in treatment. Sejumlah 415 orang meninggal dunia, 77 orang kehilangan fungsi tubuh permanen, dan 24 kasus mengalami tambahan perawatan yang tidak diharapkan seperti pemanjangan lama rawat inap. Dalam studi AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality, 2009) juga didapatkan 28 % dari 583 kesalahan diganosis adalah mengancam jiwa atau menyebabkan kematian atau cacat permanen.
Penyebab utama dalam analisis akar masalah pada 73 kasus sentineld i atas meliputi assessment yang tidak adekuat, buruknya planning¸ kegagalan dalam komunikasi, dan faktor manusia. Kesempatan yang hilang pada kasus deays in treatment dapat berasal dari faktor-faktor kognitif atau sistemik, atau mungkin dapat dikaitkan dengan faktor-faktor yang mencolok seperti lapses/ penyimpangan dalam akuntabilitas atau bukti yang nyata adanya kelalaian dari tanggung jawab. Penyebab-penyebab mungkin termasuk sistem penjadwalan yang buruk, jumlah staf yang kurang, buruknya komunikasi, salah diagnosis, dan lain-lain (JCI, 2015).
Penatalaksanaan yang terlambat dapat memperburuk prognosis suatu penyakit dan meningkatkan beban biaya dalam penatalaksanaan pasien. Beberapa kasus yang memerlukan penilaian cepat seperti serangan asthma, nyeri dada, sakit kepala terkait hipertensi emergensi atau stroke, dan lain sebagainya seringkali terlambat dikenali oleh petugas entry poin di pelayanan kesehatan primer. Primary care di negara berkembang seperti Indonesia dengan jumlah tenaga kesehatan dan sumber daya terbatas membutuhkan sistem penanganan kegawat daruratan yang baik, termasuk bagaimana mengidentifikasi kegawat daruratan pada saat pasien masuk ke fasilitas kesehatan.
Banyak penelian terkait delays in treatment berfokus pada peran dokter di layanan primer dan atau perawat, namun hanya sedikit yang meninjau aspek di balik keterlambatan penanganan maupun rujukan secara lebih luas (Mellor et al., 2015)a. Penelitian oleh Mellor et al. (2015)b dalam kasus stroke menyebutkan bahwa salah satu aspek penentu dalam keterlambatan penaganan adalah peran resepsionis pada primary care serta kegagalan petugas dalam mengenali dan merujuk pasien sebagai penderita serangan akut.
Ramanayake et al. (2014) menjelaskan mengenai pentingnya tenaga non-kesehatan yang terlatih dengan baik untuk mengenali dan memprioritaskan pelayanan terhadap pasien dengan keadaan gawat darurat baik pada saaat pendaftaran maupun masuknya pasien ke fasilitas kesehatan. Pasien dan keluarganya dalam antrian pendaftaran seringkali tidak dapat mengenali kondisi life threathening meskipun menampilkan gejala yang khas. Dalam sebuah studi simulasi telpon oleh Mellor et al. (2015)b terhadap resepsionis pada primary care menunjukkan bahwa tidak semua staf dapat mengidentifikasi dan merujuk pasien dengan serangan stroke dengan tepat. Penelitian oleh Nilsson et al. (2016) tentang-faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penanganan pasien acute myiocard infarc juga menyebutkan bahwa primary care sebagai first medical contact dengan sistem dan sumber dayanya berpengaruh signifikan (p < 0,001).
Terpenuhinya kualitas pelayanan termasuk di dalamnya patient safety sejak pasien masuk juga dituntut secara eksternal dalam standar Akreditasi Puskesmas maupun Klinik dan Dokter Praktik Mandiri. Dalam Bab VII tentang Layanan Klinis Berorientasi Pasien mengandung elemen terpenuhinya patient safety sejak pendaftaran. Namun demikian, standar ini baru menggunakan proses identifikasi pasien risiko jatuh sebagai salah satu indikator yang dapat diterapkan kepada petugas non-kesehatan. Belum tercantum aspek lain yang lebih luas terkait keselamatan pasien di bagian pendaftaran atau tempat masuk pertama pasien dan keluarga di fasilitas kesehatan.
Dalam pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas di berbagai wilayah pedesaan di Indonesia dengan jumlah pasien per-hari dapat mencapai lebih dari 100 orang sumber daya dan jumlah tenaga kesehatan terbatas perlu menyusun sistem yang tepat guna mencegah keterlambatan penanganan pasien gawat darurat. Dokter dan perawat dengan jumlah yang terbatas seringkali tidak dapat melakukan triase pada tumpukan pasien yang datang di Puskesmas. Puskesmas umumnya tidak memiliki instalasi gawat darurat yang terstandar. Oleh karena itu, skrining oleh petugas non-kesehatan seperti petugas pendaftaran dan satpam perlu diupayakan. Belum adanya alat yang baku yang dapat digunakan oleh petugas non-kesehatan sebagai garda pertama entry point pasien di fasilitas kesehatan dalam skrining kegawat daruratan pasien di primary care merupakan masalah yang penting untuk diteliti guna meningkatkan patient safety. Petugas perlu dilatih untuk mengenali dan mengatasi keadaaan gawat darurat saat kontak pertama dengan pasien.
REFERENSI:
Henriksen K, Battles JB, Marks ES, et al., editors. (2005). Advances in Patient Safety: From Research to Implementation (Volume 4: Programs, Tools, and Products). Rockville (MD): Agency for Healthcare Research and Quality (US); 2005 Feb.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK20589/.
Institute of Medicine (US) Committee on Quality of Health Care in America; Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS, editors. To Err is Human: Building a Safer Health System. Washington (DC): National Academies Press (US); 2000. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK225182/ doi: 10.17226/9728
Mellor, Ruth M.; Bailey, Sheila; Sheppard, James; Carr, Peter; Quinn, Tom; Boyal, Amunpreet; Sandler, David; Sims, Don G.; Mant, Jonathan; Greenfield; Sheila. Decisions and Delays Within Stroke Patients’ Route to the Hospital: A Qualitative Study. Annals of Emergency Medicine, March 2015, Volume 65, Issue 3, Pages 279–287.e3.
Mellor, Ruth M.; Sheppard, James P.; Bates, Elizabeth; Bouliotis, George; Janet Jones, Satinder Singh, John Skelton, Connie Wiskin and Richard J McManus. Receptionist rECognition and rEferral of Patients with Stroke (RECEPTS): unannounced simulated patient telephone call study in primary care. Br J Gen Pract 2015 Pages e421-e427, DOI: 10.3399/bjgp15X685621.
Nilsson, Gunnar; Mooe, Thomas; Söderström, Lars; and Samuelsson, Eva. Pre-hospital delay in patients with first time myocardial infarction : an observational study in a northern Swedish population. BMC Cardiovascular Disorders (2016) 16:93; DOI 10.1186/s12872-016-0271-x.
Ramanayake, R. P. J. C., Ranasingha, S., & Lakmini, S. (2014). Management of Emergencies in General Practice: Role of General Practitioners. Journal of Family Medicine and Primary Care, 3(4), 305–308. http://doi.org/10.4103/2249-4863.148089