Pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) di fasilitas pelayan kesehatan baik primer maupun sekunder adalah hal yang penting dan bermanfaat. Pelaporan insiden dapat digunakan untuk evaluasi dan pembelajaran agar kasus serupa atau kasus lain tidak terulang atau terjadi di institusi terssebut. Pelaporan juga dapat menjadi kajian nasional jika pencatatannya baik dan valid. Di berbagai negara di dunia, berbagai penelitian dilakukan dengan memanfaatkan data sistem laporan keselamatan pasien yang berlaku secara nasional. Negara-negara di Eropa seperti Inggris dan Spanyol memberikan contoh yang baik dalam berbagai jurnal penelitian mengenai pentingnya membangun suatu cara yang baik agar laporan keselamatan pasien dapat sustainable dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya(European Comission, 2014). Negara-negara lain di Asia seperti Malaysia juga telah menghasilkan penelitian berdasarkan sistem laporan keselamatan pasien (Makeham et al., 2015) .
Dalam sebuah tulisan yang termuat dalam jurnal internasional, sistem pelaporan keselamatan yang digunakan baik secara lokal maupun nasional masih dipertanyakan validitas dan manfaatnya dalam menggambarkan kondisi patient safety di suatu institusi maupun secara nasional (Howell et al., 2015). Pelaporan umumnya masih bersifat under-reported atau tidak semua kejadian dilaporkan. Hal tersebut sebabakan oleh beberapa hal yang menjadi kendala.
Secara umum, di berbagai penelitian disebutkan bahwa barrier dalam pelaporan keselamatan pasien umumnya disebabkan oleh faktor budaya yang belum terbangun. Istilah yang sering digunakan adalah safety culture atau patient safety culture belum terbangun dengan baik. Hal ini akan termanifestasi dengan munculnya budaya saling menyalahkan (blaming) yang pada akhirnya menimbulkan fearness dan ketidak percayaan dalam melaporkan maupun mengkaji suatu laporan (Vrbnjak et al., 2016). Manisfestasi lain yang muncul dari belum terbentuknya budaya keselamatan adalah petugas merasa tidak penting, menambah beban dokumentasi dan lain sebagainya yang menyebabkan tidak optimalnya pelaporan. Pelaporan juga dianggap sebagai masalah dokumentasi saja tanpa menganggap penting makna di balik penulisan dan investigasi yang dilakukan atas sebuah laporan IKP.
Belum semua profesi memiliki peran yang optimal dalam pelaporan keselamatan pasien. Perawat seringkali masih menjadi agen yang paling rajin melaporkan IKP (Evans et al., 2006). Kolaborasi antar profesi sebenarnya diharapkan mampu memperkuat dan memperdalam investigasi dan analisis masalah atas laporan yang disusun. Komitmen dan feedback positif dari manajerial juga diperlukan agar staf konsisten melaporkan dan laporan yang disusun benar-benar valid dan dapat dimanfaatkan institusi. Safety culture yang positif diperlukan dari top management agar patient safety dapat berjalan by default.
REFERENSI:
European Comission, 2014. Reporting and learning systems for patient safety incidents across Europe.
Evans, S.M. et al., 2006. Attitudes and barriers to incident reporting: a collaborative hospital study. Quality & safety in health care, 15(1), hal.39–43. Available at: http://qualitysafety.bmj.com.iclibezp1.cc.ic.ac.uk/content/15/1/39.full.
Howell, A. et al., 2015. to Compare Hospital Safety ? Results from a Quantitative Analysis of the English National Reporting and Learning System Data. PLoS ONE, 61, hal.1–15.
Makeham, M; Pont, L; Prgomet, M; Carson-Stevens, A; Lake, Rebecca; Purdy, H; Westbrook, J., 2015. Patient safety in primary healthcare: an Evidence Check review,
Vrbnjak, D. et al., 2016. Barriers to reporting medication errors and near misses among nurses: A systematic review. International Journal of Nursing Studies, 63, hal.162–178.